Istilah prosa fiksi sains terdiri dari tiga kata, yakni “prosa”, “fiksi” dan “sains.” Fiksi sains sendiri sering pula disebut sebagai fiksi ilmiah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah science fiction (sering disingkat Sc-Fi).
Secara bahasa “prosa” diartikan sebagai karangan bebas. Sedangkan “fiksi” biasa diartikan sebagai cerita rekaan. Aminuddin (2002: 66) mengartikan prosa fiksi sebagai kisahan atau cerita yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Contoh dari prosa fiksi adalah cerita pendek, novel, dongeng, dan jenis-jenis prosa lain yang sifatnya adalah cerita rekaan.
Dalam Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, Hani'ah, 2004: 51) fiksi sains disamakan dengan cerita rekaan ilmu. Fiksi sains memiliki bentuk kisahan yang alur, tema, dan latarnya disajikan secara imajinatif, berdasarkan pengetahuan dan teori ilmiah spekulatif yang masuk akal. Contohnya seperti kisah perjalanan ke ruang angkasa, petualangan di dasar laut, munculnya makhluk aneh, atau petualangan di planet lain.
Tidak jauh berbeda dengan itu, Korrie Layun Rampan (1999: 218) mengartikan fiksi sains sebagai jenis sastra yang berdasarkan pada ilmiah-aktual dan mutakhir, menggambarkan petualangan di angkasa raya, atau cerita futurologis yang menggambarkan keadaan dunia yang di masa depan.
Terkadang ada yang menyamakan antara fiksi sains dan fiksi fantasi. Padahal keduanya jelas sekali berbeda. Fiksi sains ditulis dengan landasan ilmiah. Sedangkan cerita-cerita yang digolongkan sebagai fiksi fantasi biasa berupa kisah-kisah yang tidak punya dasar ilmiah, melainkan murni khayalan pengarangnya. Biasanya, fiksi fantasi menceritakan tentang dunia antah berantah, tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan supranatural, monster, binatang aneh, dan lain-lain yang tidak disertai dan didukung dengan argumen-argumen dasar-dasar ilmu pengetahuan.
Karya fiksi berbeda dengan non-fiksi. Perbedaannya, menurut Harry Guntur Tarigan (1991: 22) terletak pada tujuannya. Maksud dan tujuan narasi non-fiksi, seperti sejarah, biografi, dan lain sebagainya adalah untuk menciptakan kembali segala sesuatu yang telah terjadi secara aktual. Dengan perkataan lain dapat kita katakan bahwa narasi non-fiksi dimulai dengan mengatakan, “karena semua ini fakta maka beginilah yang harus terjadi.” Sedangkan narasi fiksi dimulai dengan mengatakan, “seandainya semua ini fakta maka beginilah yang akan terjadi”.
Comments