Istilah science fiction, menurut Aldiss dalam Sandya Maulana (2010: 15) digunakan pertama kali dalam majalah cerita pendek Amazing Stories yang disunting oleh Hugo Gernsback dan terbit pertama kali pada tahun 1926. Sebelum istilah science fiction digunakan, sebenarnya karya-karya fiksi sains telah bermunculan sebelumnya. Kecenderungan pemanfaatan sains atau ilmu pengetahuan sebagai unsur dominan dalam bangunan naratif suatu karya fiksi ditengarai muncul sejak novel Frankenstein karya Mary Shelley yang terbit pada tahun 1818.
Jauh Sebelum itu, di Dunia Islam, Ibn Thufail (1106-1185) lewat karyanya, Hayy Ibn Yaqzhan telah berhasil mengintegrasikan deskripsi anatomi, astronomi dan filsafat Islam sebagai naluri, intuisi dan akal murni oleh tokoh Hayy. Banyak kalangan sastra yang mengagumi sebagai karya sastra yang bernilai tinggi dan tidak sedikit pula pemikir yang menempatkan karya tersebut dalam kerangka pemikiran Ibn. Thufail. (Mahayana, 2007: 343)
Kemudian pada abad ke-19, tepatnya tahun 1873 muncul seorang pengarang Prancis bernama Jules Verne. Novelnya berjudul Around the World in 80 days yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Delapan Puluh Hari Mengelilingi Dunia dianggap telah menggemparkan dunia. Dan karenanya Jules Verne kemudian dianggap sebagai Bapak science fiction dunia.
Selain Jules Verne juga ada pengarang dunia yang terkenal dengan karya fiksi sains mereka, di antaranya H. G. Wells dengan buku The Time Machine (1895), J. Wyndham dengan The Day of the Triffids (1951) dan Ray Bradburry dengan buku Fahrenheit 451 (1953). (Rampan, 1999: 219)
Meski sudah banyak bermunculan fiksi sains di abad 19, Tetapi the golden age of science fiction atau masa keemasan fiksi sains baru terjadi pada dekade 1930-an dan 1940-an (Maulana, 2010: 17). Pada saat itu, fiksi sains telah menjadi sebuah ranah populer yang dipenuhi dengan optimisme terhadap pencapaian sains di masa depan dan peningkatan pengetahuan pembaca fiksi sains tentang fenomena sains. Perkembangan fiksi sains yang demikian ini sejalan dengan visi Gernsback ketika ia memulai menerbitkan majalah Amazing Stories yakni —untuk menyemangati jiwa muda dengan antusiasme untuk melakukan penelitian dan pencapaian ilmiah.
Pada dekade 1980-an hingga memasuki abad ke dua puluh satu, fiksi sains mengalami perubahan lain dalam perkembangannya. Perubahan ini ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi media. Majalah fiksi sains saat ini sudah sepenuhnya tergantikan oleh penerbitan buku-buku (novel) fiksi sains. Walaupun demikian, gagasan-gagasan fiksi sains saat ini menyebar tidak lagi melalui buku, tetapi melalui media lain, seperti komik, film, televisi, dan video game.
Kini fiksi sains tidak hanya berkembang di Barat (Amerika, Inggris, Prancis, dll) tetapi di Asia juga sudah mulai bermunculan prosa bergenri fiksi sains. Pertanyaannya, bagaimana dengan perkembangan fiksi sains di Indonesia?
Fiksi sains merupakan salah satu genre prosa fiksi yang akhir-akhir ini mulai mendapatkan perhatian dari pembaca sastra tanah air. Kemunculan fiksi sains di Indonesia memang belum lama. Fiksi sains yang ditengarai muncul pertama kali di Indonesia adalah karya Djokolelono dengan judul Jatuh ke Matahari yang telah terbit tahun 1976. (Maulana, 2010: 15)
Namun demikian gaung mengenai fiksi sains di Indonesia baru terdengar sejak lahirnya novel Supernova karya Dee (Dewi Lestari) yang terbit pada tahun 2001. Selain Dee dan Djokolelono masih ada banyak penulis yang telah menerbitkan prosa fiksi sains di tanah air. Kita akan membahas tentang ini pada postingan berikutnya.
Comments